PANCASILA: SEBUAH PSEUDO-IDEOLOGY

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur. Hal ini tercermin dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi bangsa ini dan diwujudkan ke dalam Pancasila. Pancasila dianggap sebagai ideologi bangsa ini, karena mengandung nilai-nilai luhur yang asli dari bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara menjadikannya sebagai sumber dari segala sumber hukum dan satu-satunya asas yang berlaku di Indonesia. Ideologi-ideologi selain Pancasila merupakan ideologi asing yang berasal dari luar, sehingga tidak sesuai dengan ke-Indonesiaan. Terbukti ketika bangsa ini diuji dengan usaha-usaha penggantian ideologi Pancasila dengan ideologi lain, akan selalu gagal. Pancasila, dengan kesaktian yang dimilikinya dapat mengalahkan ideologi-ideologi lainnya.

Namun apakah demikian adanya?

Itulah mitos-mitos sesat tentang ideologi Pancasila.

Bertahun-tahun lamanya kita semua berputar-putar dalam kesesatan macam itu. Pancasila menjadi hal berputar-putar yang sangat memusingkan dan absurd. Bagi cendikiawan-akademisi, filsafat Pancasila menjadi perdebatan yang tiada habisnya, karena tidak ada kesepakatan antara filusuf yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan bagi kalangan awam-kebanyakan, ideologi Pancasila menjadi konsep yang sangat membingungkan dan hampir mustahil untuk dipahami. Pancasila yang kita kenal sekarang, menjadi konsep yang tidak definitif, tidak ada ujung-pangkalnya, dan tidak ada kronologi proses. Maka tak heran jika Pancasila semakin kehilangan pamor dan diabaikan, karena keadaannya yang seperti itu.

Perlu kita rekonstruksi lagi mengenai konsep Pancasila sebagaimana ia dilahirkan, agar kita semua dapat memahami Pancasila sebagaimana mestinya.

Sejarah Pancasila

Kelahiran Pancasila tidak bisa lepas dari sidang BPUPKI yang berlangsung pada 29 Mei – 1 Juni 1945 (sidang pertama) dan 10 – 17 Juli 1945 (sidang kedua). Dalam sidang pertama, dibahas mengenai bentuk negara merdeka, perumusan dasar negara, dan perumusan konstitusi. Mengenai perumusan dasar negara, terdapat tiga macam rumusan yang diusulkan, yaitu: Rumusan Moh. Yamin, Rumusan Dr. Soepomo, dan Rumusan Ir. Soekarno. Soekarno juga menjelaskan, bahwa rumusan miliknya yang diberi nama Pancasila ini dapat diperas untuk memperoleh inti dari dasar negara menjadi yang disebut dengan Trisila. Bahkan Trisila masih dapat diperas lagi sehingga akan diperoleh intisari dari dasar negara kita yang dinamakan dengan Ekasila. Dalam sidang pertama ini, dasar negara masih berupa rumusan-rumusan yang belum disepakati.

Setelah sidang pertama selesai, BPUPKI memasuki masa reses untuk mempersiapkan materi di sidang kedua. Pada masa reses inilah dibentuk sebuah kepanitiaan kecil yang bertugas mempersiapkan materi untuk sidang kedua, kepanitiaan ini dinamakan dengan Panitia Sembilan. Panitia Sembilan diketuai oleh Soekarno dan beranggotakan 8 orang, yang terdiri atas: 4 orang mewakili golongan Nasionalis (yang juga mempresentasi Sosialis) dan 4 orang mewakili golongan Islamis. Komposisi sekuler dan teokrasi ini untuk mencari kesepakatan mengenai batasan masing-masing ideologi dalam dasar negara termasuk mengenai intervensi negara atas sistem religi di dalam dasar negara. Panitia Sembilan kemudian menggodok rumusan-rumusan dasar negara dari sidang BPUPKI pertama untuk dijadikan dasar negara yang disepakati. Akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945, lahirlah Piagam Jakarta yang disepakati sebagai dasar negara Indonesia merdeka, dengan Pancasila seperti yang tercantum dalam alenia 4 (lihat: Piagam Jakarta dan Pancasila versi BPUPKI). Kelahiran Piagam Jakarta ini diakui anggota Panitia Sembilan sebagai Gentlemen Agreement atau kesepakatan yang penuh kehormatan antara para pria sejati, dan juga Piagam Jakarta adalah bukti toleransi dan sepakatnya ketiga entitas politik Indonesia dengan cara yang fair.

Kemudian pada masa sidang kedua, BPUPKI memiliki agenda untuk merancang pernyataan kemerdekaan Indonesia (proklamasi) dan Undang-Undang Dasar (termasuk Pembukaan dan Batang Tubuh) berdasarkan  Piagam Jakarta. Akhirnya sidang kedua ini dapat berjalan dan selesai dengan menghasilkan persetujuan secara resmi atas Piagam Jakarta sebagai dasar negara dan dipersiapkannya teks Proklamasi, pembukaan Undang-Undang Dasar, serta batang tubuh Undang-Undang Dasar. Dan pada tanggal 7 Agustus 1945 kepanitiaan BPUPKI dibubarkan setelah menyelesaikan seluruh tugasnya.

Dengan dibubarkannya BPUPKI, kepanitiaan berikutnya dilanjutkan oleh PPKI yang bertugas mempersiapkan pengalihan kekuasaan dari pendudukan militer Jepang kepada negara Indonesia dengan menggunakan dokumen hasil kepanitiaan BPUPKI yang telah disepakati. Singkat cerita, akhirnya ditetapkan kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 1945. Namun kelompok pemuda menilai vacuum of power yang terjadi ketika itu merupakan momentum yang sangat baik untuk menyegerakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Agar tidak kehilangan momentum tersebut, maka terjadilah peristiwa Rengasdengklok, yaitu penculikan Soekarno-Hatta dan desakan untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Akhirnya proklamasi kemerdekaan dilakukan dengan teks yang dibuat secara sederhana pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, telah terjadi perombakan yang fundamental atas dasar negara kita. Entitas Islamis diharuskan ‘lebih toleran’, agar mengubah dasar negara yang telah disepakati sebelumnya, dengan menghilangkan konsep syari’at Islam didalamnya. Akhirnya dengan ancaman (kosong) lepasnya Indonesia bagian timur, entitas Islamis harus ‘rela’ melepas hasil kesepakatan, dengan menghasilkan empat butir perubahan dasar negara dan Undang-Undang Dasar, yaitu:

  1. Mengganti kata “Mukaddimah” menjadi “Pembukaan“.
  2. Mengganti frasa “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa“.
  3. Mengganti frasa dalam pasal 6 ayat 1 batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dengan mencoret anak kalimat “dan beragama Islam” pada kalimat “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam“.
  4. Mengganti frasa dalam pasal 29 ayat 1 batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang semula “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa“.

Dari hasil keputusan sidang PPKI inilah, Pancasila dan Undang-Undang Dasar memiliki bentuk yang kita kenal sekarang (lihat: Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila versi PPKI).

Keputusan sidang PPKI ini sebenarnya mencederai gentlemen agreement yang telah dicapai sebelumnya. Sebab, perubahan yang terjadi pada dasar negara kita telah melampaui batas toleransi entitas Islamis dan kesepakatan tersebut terjadi tidak dalam keadaan yang fair dengan adanya tekanan dan ancaman.

Pancasila

Setelah kita melihat kronologi lahirnya Pancasila, kini kita melihat lebih dalam lagi mengenai Pancasila itu sendiri. Pada sidang pertama BPUPKI, diajukan tiga rumusan dasar negara yang berasal dari Moh. Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno

Rumusan Moh. Yamin, dinamai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia;

  1. Peri kebangsaan.
  2. Peri kemanusiaan.
  3. Peri ketuhanan.
  4. Peri kerakyatan.
  5. Kesejahteraan rakyat.

Rumusan Dr. Soepomo, dinamai Dasar Negara Indonesia Merdeka;

  1. Persatuan.
  2. Kekeluargaan.
  3. Mufakat dan demokrasi.
  4. Musyawarah.
  5. Keadilan sosial.

Rumusan Ir. Soekarno, dinamai Pancasila / Lima Sila Dasar Negara;

  1. Kebangsaan Indonesia.
  2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan.
  3. Mufakat atau demokrasi.
  4. Kesejahteraan sosial.
  5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Diantara ketiga rumusan yang diusulkan, rumusan Moh. Yamin dan Ir. Soekarno adalah yang memiliki banyak persamaan walau dengan redaksional yang berbeda. Kesamaan tersebut diperoleh karena berangkat dari realitas yang sama, yaitu: entitas politik, sistem politik, dan sistem ekonomi. Dalam masa reses antara sidang pertama dan kedua BPUPKI, Panitia Sembilan berhasil mencapai kesepakatan atas dasar negara, berupa Piagam Jakarta. Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta menggunakan dasar yang sama, karena yang paling mendekati keadaan realitas sesungguhnya.

Sehingga Pancasila dalam Piagam Jakarta berisi:

  1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Realitas entitas politik adalah golongan politik mayoritas atau yang paling dominan berdasarkan perbedaan ideologi (baca: Tiga Entitas Politik Indonesia). Seperti yang kita ketahui sebelumnya, entitas politik yang paling dominan ketika itu hanya ada 3 golongan, yaitu Islamis, Nasionalis, dan Marxis. Sehingga tiga sila dalam Pancasila menunjukkan ketiga entitas tersebut. Sila 1 menunjukkan entitas Islamis yang berdiri dengan ideologi Islam. Sila 2 menunjukkan entitas Marxis yang berdiri dengan ideologi Internasionalisme-Marxisme. Sedangkan sila 3 menunjukkan entitas Nasionalis dengan ideologi Marhaenisme. Marhaenisme adalah ideologi nasionalisme yang paling dominan diantara ideologi nasionalisme lainnya ketika itu. Ketiga sila tersebut bukan menetapkan ideologi yang akan dianut oleh negara Indonesia merdeka, melainkan menunjukkan bahwa ketiga ideologi tersebut telah ada dan hidup di tengah-tengah rakyat Indonesia. Hal ini mempunyai arti, bahwa Pancasila tidak menegasi ideologi yang sudah ada, melainkan melegitimasi hidupnya ketiga ideologi tersebut di tengah rakyat Indonesia, melalui ruang yang diberikan ketiga sila. Redaksi kalimat dari sila 1 sampai 3 merupakan pernyataan dari masing-masing entitas yang mencakup idealitas dan toleransi ideologi paling tinggi.

Pada sila 1, “menjalankan syari’at” adalah manifesto dari ideologi Islam yang tidak bisa ditawar lagi. Idealitas dari ideologi ini adalah diterapkannya syari’at Islam oleh negara dan mengikat kepada seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam perumusan dasar negara, entitas Islamis memberikan toleransinya dengan hanya mewajibkan syari’at Islam kepada muslim saja.

Pada sila 2, “kemanusiaan” merupakan manifesto ideologi Internasionalisme (Marxisme), yaitu membebaskan manusia dari penindasan antar kelas dengan menghapus kelas dan golongan. Idealitas dari ideologi ini adalah pemerintah demokrasi-proletariat yang menghapus seluruh kelas dan golongan lain dalam masyarakat. Akan tetapi mereka harus bertoleransi atas keberadaan golongan Islamis dan Nasionalis, menerapkan prinsip perlakuan manusia tanpa memandang kelas dan golongan, dengan hanya menghapus kelas tanpa menghapus golongan lain dalam masyarakat.

Pada sila 3, “persatuan” merupakan manifesto ideologi Marhaenisme yang paling mendasar. Idealitas yang dimiliki ideologi ini adalah pemerintahan nasionalis-sekuler yang menghapus segala bentuk proto-nasionalisme yang mengedepankan perbedaan suku dan ras, dan mengembalikan permasalahan religi pada ranah individu. Akan tetapi mereka harus bertoleransi dengan hanya melebur perbedaan fisik bangsa (suku dan ras) ke dalam nasionalisme Indonesia tanpa bisa menjadi sekuler.

Secara sepintas dapat kita lihat bahwa ketiga entitas politik Indonesia memiliki ideologi yang berbeda, bahkan saling berlawanan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan raison d’etre yang fundamental. Akan tetapi ketiga ideologi ini memiliki titik temu yang bisa dijadikan landasan bertoleransi dan bekerjasama, yaitu Sosialisme Indonesia, Anti Nekolim, dan Revolusi Indonesia. Pendek kata, Sosialisme Indonesia adalah tujuan bersama berdasarkan atas persamaan nilai dan sifat sosial yang terdapat pada ketiga ideologi tersebut. Dan Anti Nekolim adalah musuh bersama berupa nilai-nilai anti penjajahan dan penindasan oleh bangsa lain maupun bangsa sendiri. Sedangkan Revolusi Indonesia adalah revolusi bersama berdasarkan sifat revolusioner dan revolusi masing-masing entitas. Melalui tiga hal inilah, ketiga entitas politik Indonesia dapat bekerjasama dan ketiga ideologi tersebut tetap memiliki ruang untuk hidup. Sosialisme Indonesia dapat dicapai melalui Revolusi Indonesia dan Anti Nekolim.

Sila 4 merupakan pernyataan sistem politik yang disepakati dan akan dijalankan. Dalam sila ini tidak dinyatakan secara definitif sistem tertentu, akan tetapi atas dasar kesepakatan ketiga entitas politik indonesia. Namun kesepakatan tersebut harus tetap berpegang pada prinsip yang terdapat pada sila 4. Dalam sila ini terdapat tiga hal penting yang menjadi prinsip, yaitu:

  • “Kerakyatan” merujuk pada sistem pemerintahan. Maksudnya ialah, sistem pemerintahan tidak lagi dipegang oleh golongan elit-feodalis, akan tetapi rakyat dapat ikut menentukan jalannya pemerintahan. Hal ini dapat diartikan sebagai republik. Rakyat yang akan menjalankan roda Revolusi Indonesia.
  • “Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” merujuk pada pemimpinnya. Maksudnya ialah keharusan adanya pemimpin kuat yang memiliki banyak ilmu (hikmat) dan memiliki sifat bijaksana dalam memimpin. Dialah Primus Interpares. Pemimpin yang akan memimpin jalannya Revolusi Indonesia.
  • “Permusyawaratan perwakilan” merujuk pada forum. Maksudnya ialah perlunya suatu wadah atau forum untuk bermusyawarah antara perwakilan dari masing-masing golongan dan musyawarah antara perwakilan golongan dengan pemimpin. Tempat tersemainya Revolusi Indonesia.

Secara sederhana, ketiga prinsip ini dapat diilustrasikan seperti ini: Jalannya pemerintahan bukan berada ditangan elit, melainkan rakyat itu sendiri. Namun rakyat harus dipimpin oleh seseorang yang kuat, yang memiliki ilmu pengetahuan, dan bijaksana, yang berasal dari kalangan rakyat sendiri. Pemimpin dan perwakilan rakyat harus selalu bermusyawarah atas jalannya pemerintahan negeri ini. Rakyat, Pemimpin, dan Musyawarah, menjadi unsur penting dalam pemerintahan kita. Inilah yang dimaksud dengan Demokrasi Terpimpin.

Sila 5 merupakan pernyataan sistem ekonomi. Dalam sila ini jelas dinyatakan secara gamblang, bahwa negara wajib menyelenggarakan “keadilan sosial”. Yang dimaksud dengan keadilan sosial adalah kesejahteraan, ini artinya negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Negara bertindak sebagai welfare state (Negara Kesejahteraan), yang diharuskan untuk intervensi dalam jalannya perekonomian, dengan membuka akses ekonomi dan distribusikannya secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan Ekonomi Terpimpin/Kerakyatan.

Jadi Pancasila merupakan butir-butir kesepakatan antara ketiga entitas politik Indonesia yang berisi eksistensi ketiga entitas beserta ideologi yang hidup didalamnya, yaitu Islamis, Marxis, dan Nasionalis (sila 1-3), sistem politik yang akan dijalankan, yaitu Demokrasi Terpimpin (sila 4), dan sistem ekonomi yang akan dijalankan, yaitu Ekonomi Terpimpin/Kerakyatan (sila 5).

Pancasila versi BPUPKI yang tercantum dalam Piagam Jakarta inilah yang menjadi Gentlemen Agreement sesungguhnya karena kesepakatan yang dicapai berasal dari kesadaran masing-masing entitas tanpa ada tekanan atau ancaman dari para pihak.

Dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam sidang PPKI, terjadi perubahan pada Pancasila. Perubahan tersebut berkaitan dengan syari’at Islam yang tercantum dalam sila 1. Sila yang awalnya memiliki redaksi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan 7 kata menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa“. Secara keseluruhan, Pancasila menjadi seperti ini:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Konsekuensi dari perubahan itu adalah: pelaksanaan syari’at Islam yang awalnya diselenggarakan negara dan mengikat pada penduduk Indonesia yang muslim saja, kini akibat dari penghilangan 7 kata tersebut, negara melepas tanggung jawabnya atas pelaksanaan syari’at Islam. Syari’at Islam yang awalnya merupakan domain negara, kini jadi berdasarkan inisiatif entitas Islamis sendiri.

Sila 1 Pancasila versi PPKI hanya melepas negara dari pelaksanaan syari’at Islam, akan tetapi tetap menjamin syari’at Islam menjadi bagian dari entitas Islamis. Bentuk perasan Pancasila versi PPKI ini tetap memiliki bentuk sila yang sama dengan perasan Pancasila versi BPUPKI.

Trisila

Pada rumusan Pancasila hasil rancangan Soekarno, Pancasila dapat diperas untuk memperoleh inti dari dasar negara menjadi Trisila. Karena Pancasila versi BPUPKI memiliki realitas yang sama dengan rumusan Pancasila rancangan Soekarno, maka Pancasila versi BPUPKI ini dapat diperas juga menjadi Trisila dengan sila yang sama. Yaitu:

  1. Sosio-Nasionalisme.
  2. Sosio-Demokratis.
  3. Ketuhanan.

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

  1. Sila 1 dari Trisila ini merujuk pada ideologi Nasionalisme yang diusung oleh entitas Nasionalis. Namun ideologi Nasionalisme yang dimaksud adalah Marhaenisme, karena Nasionalis-Marhaenis adalah golongan nasionalis yang paling dominan ketika itu. Maka sila ini disebut dengan Sosio-Nasionalisme.
  2. Sila 2 ini merujuk pada ideologi Internasionalime yang diusung oleh entitas Marxis. Salah satu nilai atau ide yang selalu diusung ialah Demokrasi (Proletar), maka sila ini dinamakan dengan Sosio-Demokratis.
  3. Sila 3 merujuk pada ideologi Islam, yaitu ideologi yang dianut oleh entitas Islamis dan bergerak sebagai pergerakan dengan ideologi tersebut. Dengan ideologi teokrasi ini, maka sila ini dinamakan Ketuhanan.

Jika diperhatikan, ada sedikit perbedaan antara sila 1 & 2 dengan sila 3, yaitu pada kata “sosio”. Kata “sosio” pada sila 1 & 2 menunjukkan bahwa: Ideologi Nasionalisme (Marhaenisme) dan ideologi Internasionalisme (Marxisme) keduanya merupakan ideologi bersifat sosiologis. Sedangkan sila 3 menggunakan kata “Ketuhanan” tanpa ada kata “sosio” menunjukkan bahwa ideologi Islam merupakan ideologi bersifat teologis yang terikat dengan agama Islam.

Itulah ketiga sila dari Trisila yang pernah dirumuskan oleh Soekarno dari hasil perasan Pancasila. Isi Trisila ini mengacu pada ideologi politik yang dominan di Indonesia, yaitu Nasionalisme-Marhaenisme, Internasionalisme-Marxisme, dan ideologi Islam. Penyederhanaan Pancasila menjadi Trisila, menunjukkan bahwa ketiga entitas ini beserta ideologinya, begitu penting bagi dasar negara kita, sebab ketika itu ketiga entitas ini merupakan golongan masyarakat yang dominan dengan kekuatan yang sama kuatnya. Dan yang paling penting adalah ketiganya merupakan entitas yang memiliki ideologi revolusioner dan menjadi motor penggerak Revolusi Indonesia.

Ekasila

Trisila dapat diperas lagi untuk memperoleh intisari dari dasar negara kita menjadi Ekasila. Ekasila hanya terdiri dari satu sila, yaitu:

  1. Gotong-royong.

Yang dimaksud dengan gotong-royong adalah kerjasama. Yaitu kerjasama ketiga entitas politik Indonesia, seperti yang tercantum dalam Trisila. Kerjasama adalah suatu kesepakatan beberapa pihak atas dasar kesamaan tujuan. Kesepakatan tersebut dapat tercapai dengan adanya kompromi, yaitu pengurangan idealitas/tuntutan dari para pihak, tanpa menghapus idealisme/ideologi masing-masing.

Untuk lebih mudahnya kita bisa melihat ilustrasi berikut: Suatu desa sepakat melakukan kerja bakti bersih desa. Seluruh warga laki-laki melakukan bersih-bersih dan pekerjaan kasar. Sedangkan warga yang perempuan bertugas menyiapkan dan membagikan konsumsi. Kerja bakti tersebut bisa terlaksana dan selesai seperti yang direncanakan.

Dari sini kita bisa lihat, tiap-tiap orang yang terlibat dalam kerja bakti itu memiliki motivasi dan niat yang berbeda-beda. Ada yang merasa tidak enak dengan tetangga karena tenggang-rasa, ada yang mencari reputasi demi nama baik dikalangan tetangga, ada pula yang sedang tidak ada kegiatan lain dihari itu, bahkan ada yang hanya sekedar ingin bisa melihat sang pujaan hati. Itulah idealisme, tiap orang bisa memiliki idealismenya masing-masing di dalam satu tempat dan waktu yang sama. Sedangkan mereka semua melakukan kompromi, yaitu menyisihkan waktu dan tenaganya untuk terlaksananya kerja bakti.

Dari ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga entitas politik dapat bekerjasama untuk Revolusi Indonesia dengan jalan kompromi tanpa harus menghapus ideologi masing-masing. Itulah yang dimaksud dengan Gotong-royong dan itulah pula yang menjadi dasar negara kita.

Ketika Pancasila Menjadi Ideologi

Setelah kita mengetahui Pancasila sebagaimana ia dilahirkan, sebagaimana ia disepakati, kini kita perlu melihat bagaimana Pancasila bermutasi menjadi ideologi seperti yang kita kenal sekarang.

Pada awal Pancasila dilahirkan dalam sidang BPUPKI, ia masih dipahami sebagaimana yang telah disebut sebelumnya. Bahkan hasil ‘revisi’ PPKI pun masih dipandang demikian, walau sudah melampaui batas toleransinya. Hanya saja terjadi beberapa inkonsistensi dalam perjalanannya. Namun bermutasinya Pancasila benar-benar terjadi setelah memasuki orde Suharto. Pada orde Suharto, telah terjadi transformasi politik secara besar-besaran, dari yang awalnya pemerintahan sipil menjadi pemerintahan junta-militer. Rezim junta-militer mengkooptasi organisasi politik sehingga peta politik pun ikut berubah drastis: Entitas Marxis ditumpas, entitas Islamis awalnya diperalat untuk menghancurkan entitas Marxis tapi kemudian ditekan tak berkutik, dan entitas Nasionalis dimanipulasi sedemikian rupa agar menjadi alat legitimasi rezim. (baca: Tiga Entitas Politik Indonesia).

Saat Suharto memanipulasi entitas Nasionalis agar sesuai dengan rezimnya, dibutuhkan suatu ideologi baru yang mendukung rezim berkuasa. Perlu diingat, rezim Suharto adalah rezim junta-militer yang berarti tidak memiliki ideologi seperti politik masyarakat madani. Sehingga Pancasila yang sejatinya adalah perjanjian ‘disulap’ menjadi ideologi bangsa. Agar Pancasila dapat dilegitimasi sebagai ideologi, maka direkayasa dengan berbagai macam teori. Pancasila yang telah berganti wajah menjadi ideologi ini memiliki peran yang multi-fungsi bagi rezim, yaitu:

  • Alat kooptasi entitas Nasionalis. Junta-militer sebagai shadow entity tidak mencerminkan civil society sesungguhnya, yang artinya rezim junta-militer membutuhkan tempat untuk ‘bernaung’, agar mendapatkan legitimasi atas kudeta ‘halus’ yang dilakukannya. Dipilihnya entitas Nasionalis untuk dikooptasi karena memiliki identitas dan kohesi yang paling lemah diantara ketiga entitas yang ada. Hal ini paling logis, mengingat entitas Nasionalis Indonesia adalah yang paling terakhir muncul. Selain itu, frasa “Nasionalis” paling mudah dibajak dengan pemahaman patriotik ala militer.
  • Pengganti ideologi Marhaenisme. Entitas Nasionalis mayoritas telah memiliki ideologi Marhaenisme yang melebur proto-nasionalisme menjadi Nasionalisme Indonesia. Sebagai shadow entity, junta-militer juga tidak memiliki ideologi, maka dibutuhkan suatu ‘ideologi’ untuk melayani sistem junta-militer. Posisi Marhaenisme diganti dengan Pancasila yang telah didandani dengan kosmetik ideologi.
  • Menandingi ideologi lain. Kedua entitas lainnya memiliki masing-masing ideologi, yaitu Islam dan Internasionalisme. Pancasila yang seolah-olah sebagai ideologi, menempatkan dirinya sebagai ideologi tertinggi bangsa, bahkan menjadi ‘lawan’ kedua ideologi lainnya. Kemudian rezim junta-militer memberlakukan Pancasila sebagai Asas Tunggal / Astung. Astung ini digunakan untuk membatasi ideologi milik entitas lain.
  •  Alat asimilasi. Rezim junta-militer akan lebih mudah mengendalikan satu entitas sebagai entitas Nasionalis (versi junta-militer) daripada bekerja dengan tiga entitas yang berbeda. Melalui Astung pula, rezim melakukan asimilasi entitas lain agar menjadi entitas Nasionalis versi junta-militer. Pancasila dijadikan satu-satunya ideologi agar entitas lain, terutama Islamis meninggalkan ideologi Islam dan menjadi Nasionalis.
  • Mencetak kroni. Rezim berkuasa membutuhkan banyak tenaga yang akan memutar roda pemerintahannya. Tenaga penggerak tersebut harus memiliki spesifikasi yang sesuai dengan kebutuhan rezim. Dibuatlah mekanisme penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dalam penataran P4 diindoktrinasi citra manusia ideal, yaitu manusia Pancasilais. Manusia Pancasilais adalah manusia yang memegang teguh Pancasila sebagai pandangan hidupnya.
  • Labelisasi politik. Rezim junta-militer menggunakan Pancasila sebagai alat menentukan kawan-lawan rezim. Yang dijadikan kawan dilabeli dengan Pancasilais, karena sesuai dengan citra ideal rezim, sedangkan yang dianggap sebagai musuh rezim akan disebut dengan “Tidak-Pancasilais”.
Junta Militer Suharto

Pemerintahan Junta Militer Suharto yang telah mengubah Pancasila dari yang semula berupa “perjanjian luhur bangsa” menjadi “Ideologi Pancasila”. Bahkan Ideologi Pancasila dijadikan “Asas Tunggal” untuk melayani rezim. Akibatnya bangsa kita tidak lagi terdidik secara politik, bahkan hingga kini.

Pada masa Junta Militer Suharto, Pancasila yang mulanya perjanjian dijadikan ‘ideologi’ bangsa. Bahkan Ideologi Pancasila dijadikan “Asas Tunggal” untuk kepentingan rezim. Akibatnya bangsa kita tidak lagi terdidik secara politik, hingga kini.

Dengan fungsi seperti ini Pancasila dijadikan senjata oleh rezim dan menciptakan kondisi yang menguntungkan Suharto beserta kroninya. Bukan saja keuntungan politik, tetapi juga keuntungan ekonomi. Kroni dan keluarga difasilitasi kemudahan berbisnis, sedangkan pesaing bisnis dicekik dengan pilihan upeti atau gulung tikar, tidak pernah bisa lebih sukses dari bisnis milik rezim. Sehingga Suharto beserta rezim dapat membangun imperium bisnis yang menggurita. Namun kerajaan bisnisnya merupakan bisnis yang sangat rapuh, terbukti dengan turunnya Suharto, kejayaan bisnisnya pun ikut redup tanpa sempat dinikmati sampai tujuh turunan.

Selepas rezim junta-militer runtuh, negeri ini kembali lagi dengan politik sipil yang disebut dengan reformasi. Pada era ini, ketiga entitas politik kembali lagi memegang perpolitikan, hanya saja komposisinya yang sedikit berbeda. Entitas Islamis masih konsisten dengan ideologi Islam-nya dan entitas Marxis kini hadir dengan ideologi Sosialisme, walau sedang terseok-seok merangkak dari nol lagi. Akan tetapi, entitas Nasionalis mayoritas masih terkontaminasi dengan sisa-sisa ajaran Suharto. Warisan rezim Suharto nampak dengan gamblangnya dengan masih dijadikannya Pancasila sebagai ideologi bangsa, bahkan sebagian masih memaksa sebagai Astung. Entitas Nasionalis pun menempatkan diri sebagai entitas tertinggi bangsa dan dipandang sebagai entitas tunggal yang sah memiliki Indonesia. Sungguh naif!

Dengan keadaan seperti tersebut, kini entitas Nasionalis yang berideologi Pancasila bukan terlihat semakin kuat, justru sebaliknya semakin lemah dan mulai ditinggalkan penganutnya sendiri. Pancasila yang pada orde Suharto disulap seolah-olah menjadi ideologi tunggal bangsa, merupakan mesin politik junta-militer yang dirancang untuk melayani kepentingan rezim. Pada orde Reformasi, ideologi Pancasila masih berupa alat politik sebagaimana yang diwariskan oleh orde sebelumnya. Namun karena kini ideologi Pancasila tidak lagi melayani rezim, maka ideologi Pancasila hanya digunakan oleh para oportunis sebagai ‘merk kendaraan politik’ untuk meraih kedudukan semata.

Itulah yang terjadi di negeri ini, dengan dijadikannya Pancasila seolah-olah sebagai ideologi. Pancasila menjadi pseudo-ideology.

Ideologi vs Pseudo-Ideologi

Seperti yang telah kita pahami sebelumnya, Pancasila sejatinya merupakan perjanjian kesepakatan  para entitas politik Indonesia. Pada era junta-militer, Pancasila dijadikan ideologi untuk melayani kepentingan rezim dengan didandani dan diberi asesoris teori-teori ideologi. Pancasila sebagai ideologi memiliki konsep yang sangat memusingkan dan sulit dipahami, bukan saja oleh awam-kebanyakan namun juga oleh para cendikia-akademisi. Teori ideologi Pancasila tidak memiliki pijakan ideologi yang baku, namun selalu memiliki jurus yang sama, yaitu dengan hanya mengumpulkan kebaikan-kebaikan normatif menjadi nilai ideologinya. Maka tak heran, setiap orang akan memahami ideologi pancasila dengan versinya sendiri-sendiri.

Dari sekian banyak teori ideologi Pancasila yang beredar, ada doktrin yang sering digunakan sebagai dasar ideologinya, yaitu Pancasila merupakan ideologi terbuka. Artinya Pancasila merupakan ideologi yang tidak dimutlakkan. Pancasila memenuhi syarat sebagai ideologi terbuka dan dinamis karena memiliki tiga dimensi, yaitu:

  • Dimensi realitas. Bahwa nilai-nilai ideologi itu bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup didalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai itu benar-benar telah dijalankan, diamalkan, dan dihayati sebagai nilai dasar bersama. Kelima nilai dasar Pancasila itu ditemukan dalam suasana atau pengamalan kehidupan masyarakat bangsa yang bersifat kekeluargaan, kegotongroyongan, atau kebersamaan.
  • Dimensi Idealitas. Bahwa suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan. Ideologi tidak sekedar mendeskripsikan atau menggambarkan hakikat manusia dan kehidupannya, namun juga memberi gambaran ideal masyarakat sekaligus memberi arah pedoman yang ingin dituju oleh masyarakat tersebut.
  • Dimensi fleksibilitas. Bahwa ideologi memiliki keluwesan yang memungkinkan untuk pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat dan jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya. Dimensi fleksibilitas suatu ideologi hanya mungkin dimiliki oleh ideologi terbuka ‘demokratis’ karena disinilah relevansi kelebihannya untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang terkandung dalam nilai-nilai dasar. Pancasila adalah fleksibel karena dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan.

Selain itu, Pancasila sebagai ideologi terbuka juga memiliki ciri sebagai berikut:

  • Merupakan kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat (falsafah). Jadi, bukan keyakinan ideologis sekelompok orang melainkan kesepakatan masyarakat. Pancasila adalah pandangan hidup yang berakar pada kesadaran masyarakat Indonesia.
  • Tidak diciptakan oleh negara, tetapi ditemukan dalam masyarakat sendiri, ia adalah milik seluruh rakyat, dan bisa digali dan ditemukan dalam kehidupan mereka. Isi Pancasila tidak langsung operasional artinya kelima nilai dasar Pancasila itu berfungsi sebagai acuan dan dapat ditafsirkan untuk mencari implikasinya dalam kehidupan nyata.
  • Isinya tidak langsung operasional. Sehingga, setiap generasi baru dapat dan perlu menggali kembali falsafah tersebut dan kembali mencari implikasinya dalam situasi kekinian mereka. Pancasila juga bukan ideologi totaliter.
  • Tidak pernah memperkosa kebebasan dan tanggung jawab masyarakat, melainkan menginspirasi masyarakat untuk berusaha hidup bertanggung jawab sesuai dengan falsafah itu. Pancasila bukan ideologi yang memperkosa kebebasan dan tanggung jawab masyarakat.
  • Menghargai pluralitas, sehingga dapat diterima warga masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Pancasila menghargai pluralitas.

Pancasila selalu dibanggakan sebagai ideologi terbuka, yang memiliki makna dan nilai positif. Sedangkan ideologi terbuka selalu dilawankan dengan ideologi tertutup yang memiliki makna dan nilai yang negatif. Adapun ciri-ciri ideologi tertutup adalah:

  • Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan cita-cita sebuah kelompok yang digunakan sebagai dasar untuk mengubah masyarakat.
  • Apabila kelompok tersebut berhasil menguasai negara, ideologinya itu akan dipaksakan kepada masyarakat. Nilai-nilai, norma-norma, dan berbagai segi kehidupan masyarakat akan diubah sesuai dengan ideologi tersebut.
  • Bersifat totaliter, artinya mencakup/mengurusi semua bidang kehidupan. Karena itu, ideologi tertutup ini cenderung cepat-cepat berusaha menguasai bidang informasi dan pendidikan, sebab kedua bidang tersebut merupakan sarana efektif untuk mempengaruhi perilaku masyarakat.
  • Pluralisme pandangan dan kebudayaan ditiadakan, hak asasi tidak dihormati.
  • Menuntut masyarakat untuk memiliki kesetiaan total dan kesediaan untuk berkorban bagi ideologi tersebut.
  • Isi ideologi tidak hanya nilai-nilai dan cita-cita, tetapi tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, mutlak dan total.

Itulah sekelumit teori Pancasila sebagai ideologi terbuka. Sebuah teori yang cukup sulit untuk dipahami secara logika walau cukup mudah untuk dihafalkan saja. Bukan karena kurangnya kadar intelektualitas kita, akan tetapi kita dapat melihat teori Pancasila sebagai ideologi terbuka, ternyata tidak logis dan inkonsisten dengan teorinya sendiri.

Dalam dimensi realitas, ideologi Pancasila berasal dari nilai-nilai riil yang hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Jika kita lihat ke belakang lagi sebelum Pancasila itu lahir, bangsa ini secara garis besar memiliki 3 garis politik perjuangan, yaitu Islamis, Internasionalis-Marxis, dan Nasionalis-Marhaenis. Ketiganya memiliki masing-masing ideologi yang berjalan secara bersamaan. Menurut kaum Pancasilais kekinian, Pancasila berasal dari nilai-nilai riil (ideologi) sebelumnya, namun anehnya, dengan lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945 (menurut versi Nasionalis-Pancasilais) justru mengakibatkan terhapusnya ketiga ideologi sebelumnya. Bahkan memenuhi ciri-ciri yang mereka sebut sebagai sebuah ideologi tertutup, yaitu dengan memaksakan Pancasila sebagai Astung oleh negara, untuk mengubah nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat. Hal yang tidak pernah terjadi pada era Soekarno melainkan terjadi saat rezim junta-militer Suharto berkuasa hingga sekarang. Ini menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi merupakan mesin politik, bukan ideologi sesungguhnya.

Sedangkan dalam dimensi idealitas, Pancasila mengandung cita-cita yang ingin dicapai lengkap dengan gambaran masyarakat yang ideal. Ketiga entitas politik Indonesia, menurut raison d’etre-nya memiliki dasar idealisme dan idealitas yang berbeda bahkan sangat bertolak belakang. Perbedaan ini tidak mungkin disatukan secara sinkretik, karena akan mengakibatkan paradoksial atas nilai-nilai yang dikandungnya. Ketika kita telaah lebih dalam, dapat kita lihat bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak memiliki idealisme yang orisinil. Nilai-nilai yang dimiliki ideologi Pancasila merupakan bentuk sinkretis dari ketiga ideologi yang tercantum dalam (perjanjian) Pancasila. Dari sinilah munculnya istilah “nasionalis-religius”, sebuah istilah yang ambigu. Hasil dari sinkretisme ini adalah masing-masing sila dalam Pancasila tidak bisa dijalankan secara sempurna, karena selalu bertolak-belakang dengan sila lainnya.

Dimensi yang terakhir adalah fleksibilitas. Dalam dimensi ini Pancasila bisa luwes mengikuti perkembangan jaman dengan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan nilai-nilai dasarnya. Bahkan menurut doktrin yang beredar, hal ini hanya berlaku dalam alam demokrasi. Namun ini adalah mekanisme ‘bunuh diri’. Pancasila yang memiliki fleksibilitas seperti ini mengakibatkan munculnya pemikiran dan nilai yang berasal dari luar dan menghapus eksistensinya sendiri. Kita bisa melihat, Pancasila tidak dapat bertahan dari ‘arus globalisasi’ dan mengikuti nilai-nilai dari luar, yang membuat Pancasila bak saudara kembar Liberalisme. Apalagi dengan kondisi demokrasi-anarkistis seperti ini, lahir pemikiran-pemikiran yang bersifat individualistis atau ‘Pancasila ala gue’.

Selain tak logis dan inkonsisten dengan teorinya sendiri, Ideologi Pancasila juga tidak memiliki ciri-ciri sebagaimana sebuah ideologi seharusnya.

  • Ideologi Pancasila mengandung nilai-nilai yang kontradiktif. Bagi yang pernah mengalami penataran P4, sebagian diantara kita akan menemukan nilai-nilai kontradiktif tersebut dengan gamblangnya. Salah satu doktrin yang diperkenalkan adalah Pancasila mengandung nilai-nilai asli Indonesia, namun secara bersamaan Pancasila juga memiliki nilai-nilai universal yang diterima seluruh dunia. Secara praktis, Pancasila dikonstruksi sebagai ideologi asli Indonesia yang lengkap dengan segala kekhasannya namun juga mengandung nilai sebagai ideologi yang universal sehingga dapat diterima dan dianut seluruh dunia. Manakah yang betul, Pancasila yang khas lokal Indonesia ataukah Pancasila yang universal mendunia? Padahal, sebuah ideologi seharusnya memiliki nilainya sendiri-sendiri, seperti halnya ideologi Islam yang universal, mengikat seluruh muslim dan mereka yang tunduk kepada syari’at secara universal. Dan juga ideologi Internasionalisme-Marxisme yang mengikat kaum Proletar seluruh dunia. Sedangkan ideologi Nasionalisme-Marhaenisme hanya mengikat penduduk Nusantara (Indonesia dan negeri di sekitarnya) karena persamaan nasib secara sosiologis. Masing-masing ideologi memiliki kapasitas yang berbeda: lokal atau universal, tidak mungkin keduanya sekaligus.
  • Ideologi Pancasila tidak bisa dikonstruksi secara logis. Pancasila sebagai ideologi memiliki proses maupun kronologis yang sangat sulit diterima logika. Masih bagi mereka yang pernah mengalami penataran P4, pastinya tidak asing dengan doktrin: Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai nenek moyang yang sudah ada sebelum negara Indonesia itu berdiri. Yang menjadi tidak logis adalah keberadaan nilai-nilai tersebut pada pra-kemerdekaan. Jika kristalisasi adalah merupakan pemerasan intisari, maka yang disebut nilai-nilai nenek moyong akan terlihat sangat absurd dan tidak logis. Pada masa pergerakan, ideologi yang dominan dalam masyarakat Indonesia adalah Islam, Marhaenisme, dan Marxisme. Bahkan jika dirunut lebih jauh lagi, hanya ada ideologi Islam yang dianut kesultanan di Nusantara dan ideologi-ideologi proto-nasionalisme yang bersifat sangat lokal kedaerahan. Maka kita tidak bisa melihat klaim ideologi Pancasila berasal dari nenek moyang. Justru sebaliknya, pemahaman ideologi Pancasila yang muncul terkemudian di era orde Suharto malah bisa ‘bersesuaian’ dengan nilai-nilai yang muncul setelah Pancasila, seperti HAM, globalisasi, feminisme, liberalisasi, pluralisme, dan nilai-nilai asing lainnya yang sebenarnya malah melemahkan para penganutnya sendiri. Lalu timbul pertanyaan, manakah yang lebih dulu, Indonesia atau Ideologi Pancasila? Ideologi Pancasila tidak pernah terbentuk dari grass-root masyarakat melainkan elit yang berkuasa ketika junta-militer.
  • Ideologi Pancasila bukan merupakan antitesis ideologi lain. Kelahiran ideologi Pancasila bukan untuk menjawab eksistensi ideologi lain, melainkan muncul begitu saja tanpa sebab. Sebuah ideologi dirancang dan muncul untuk menjawab ideologi sebelumnya yang sedang berlangsung. Sebagai contoh, Islam (sebagai ideologi) lahir untuk menjawab situasi sosial yang jahiliah berideologi kuffar. Marxisme lahir sebagai ideologi untuk menjawab situasi sosial yang dikuasai oleh ideologi penindasan antar kelas milik Liberalisme-Kapitalisme. Sedangkan ideologi Marhaenisme lahir untuk menjawab ideologi penindasan kepentingan asing Imperialisme-Kolonialisme milik penjajah. Karena Pancasila sebagai ideologi bukan merupakan antitesis dari ideologi lain, tidak memiliki main goal, atau tujuan utama sebuah ideologi. Jika kita perhatikan bersama, dengan tidak adanya tujuan utama sebuah ideologi, maka yang terjadi sekarang adalah ideologi lemah yang tidak terarah dan hanya mengikuti arus globalisasi. Walau kaum Pancasilais seringkali membanggakan Pancasila yang ‘sakti’ dapat mengalahkan ideologi lain yang mau menggantikan, dengan mengambil contoh peristiwa G-30 S/PKI, namun tetap saja tidak membuktikan Pancasila sebagai antitesis Marxisme. Sebab yang terjadi ketika itu bukan pertentangan ideologis antara Marxisme dan Pancasila, melainkan pertentangan politik antara Angkatan Darat pro-Barat dan Soekarno yang non-blok. Lagipula perlu diingat, dalam Nasakom, ketiga ideologi Indonesia dapat bekerja sama dalam ikatan Sosialisme Indonesia. Dan ideologi Pancasila tidak pernah menjadi bagiannya, baru muncul terkemudian dimasa Suharto.
  • Ideologi Pancasila tidak bisa menilai ideologi lain dan menentukan posisi dirinya dengan ideologi lain. Karena ideologi Pancasila pada dasarnya bukan ideologi sesungguhnya, maka ideologi Pancasila tidak bisa memandang ideologi lain sebagai kawan ataukah lawan. Seringkali kaum Pancasilais menempatkan ideologi Pancasila sebagai ideologi asli Indonesia, karena berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Dari hal ini, ideologi Marxis, dan bahkan Islam juga, dianggap sebagai ideologi asing yang berasal dari Uni Sovyet dan Arab. Ternyata terjadi hipokrisi dalam ideologi Pancasila yang sering mencibir ‘ideologi import’ namun tidak pernah berani melawannya secara terbuka. Lalu bagaimana sikap ideologi Pancasila terhadap Marhaenisme yang juga asli Indonesia? Ideologi Pancasila pun juga tidak bisa menentukan sikap. Sebaliknya, ideologi Pancasila justru seringkali mesra dengan ideologi lain yang notabene ‘import’ pula. Pandangan ideologi Pancasila seringkali ‘ditemukan kecocokannya’ dengan nilai-nilai Liberalisme, HAM, globalisasi, pluralisme, dan lain-lainnya. Akhirnya ideologi Pancasila hanya menilai dan memposisikan dirinya dengan cara like and dislike, bukan penilaian secara fair dengan nilai yang sesungguhnya.
  • Ideologi Pancasila tidak memiliki eternal enemy. Seperti halnya ideologi Pancasila yang tidak memiliki antitesis ideologi lain, ideologi Pancasila pun tidak memiliki musuh abadi layaknya sebuah ideologi. Kita tahu, eternal enemy ideologi islam adalah kekufuran, Marxisme punya eternal enemy kaum bourgeois / borjuis yang menindas, bahkan eternal enemy Marhaenisme adalah kepentingan asing yang menjajah. Ideologi Pancasila tidak memiliki satupun eternal enemy. Bagi kalangan awam-kebanyakan, seringkali Marxisme disebut sebagai musuh Pancasila, namun raison d’etre-nya tidak logis. Marxisme adalah melawan penindasan antar kelas, jika Pancasila adalah musuh Marxisme apakah berarti ideologi Pancasila melestarikan penindasan antar kelas tersebut? Dan sebaliknya, ideologi Pancasila menempatkan dirinya sebagai ideologi bertuhan dan menganggap Marxisme sebagai ideologi sekuler-atheis, yang artinya kedua ideologi ini bermusuhan. Akan tetapi, jika ideologi Pancasila adalah ideologi bertuhan yang menjadi lawan ideologi sekuler-atheis, mengapa justru ‘mesra’ dengan Liberalisme-Kapitalisme yang notabene ideologi sekuler-atheis? Dan lucunya, sebagai ideologi bertuhan, Pancasila malah ‘tidak bisa sejalan’ dengan ideologi Islam yang sama-sama ideologi teologis. Kita bisa simpulkan bahwa ideologi Pancasila bukan merupakan ideologi, karena tidak memiliki eternal enemy ideologi lain.
  • Ideologi Pancasila tidak memiliki mekanisme beladiri. Mekanisme beladiri suatu ideologi adalah mendefinisi nilai dan situasi yang dapat mengancam eksistensi ideologi itu sendiri. Hal ini tidak terdapat dalam Pancasila. Jika kita perhatikan lebih lanjut, ideologi Pancasila tidak pernah mendefinisikan secara gamblang mengenai nilai maupun situasi yang mengancam eksistensi dirinya. Pada masa sekarang saja, kaum Pancasilais hanya bisa prihatin dan khawatir terhadap ideologi Pancasila yang sudah hampir ditinggalkan penganutnya sendiri, terutama kaum muda yang lebih memilih ideologi yang lebih liberal, tanpa bisa memberikan penjelasan dan solusi atas keprihatinannya mereka. Kaum Pancasilais hanya mendefinisikan globalisasi sebagai sebuah tantangan yang harus diatasi, sebuah kesimpulan yang serupa dengan kaum Liberalis-Kapitalis. Maka tak heran gelombang demi gelombang globalisasi menghantam Indonesia dengan dahsyatnya. Nilai-nilai asing yang masuk pun tak tanggung-tanggung diserapnya secara mentah begitu saja, seperti halnya demokrasi ala liberal yang kini tengah berjalan, pasar bebas ala ekonomi kapitalis, kehidupan hedonis-individualistik, paham pluralisme (ini beda dengan pluralitas), dan sederet lainnya yang kita sendiri sudah paham betul. Melalui globalisasi pula, negeri ini hanya dijadikan ladang panen sphere of influence negara-negara kapitalis, Amerika dengan American Pie-nya, Jepang dengan aliran J-nya, bahkan yang termutakhir Korea Selatan dengan Hallyu-nya. Ideologi Pancasila hanya bertekuk lutut tak berdaya dengan dalih sebagai kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Bahaya globalisasi hanya bisa disadari oleh mereka yang konsisten dengan ideologi Islam, Marxisme, dan Marhaenisme, tetapi tidak bagi mereka yang berideologi Pancasila. Ideologi Pancasila terancam eksistensinya bukan karena ideologi lain, melainkan karena dirinya sendiri yang sangat terbuka dan tidak memiliki mekanisme beladiri.
  • Ideologi Pancasila tidak bisa menilai dan mengatasi permasalahan sosial. Melihat peliknya permasalahan sosial yang kini terjadi, kita dapat melihat ideologi Pancasila tidak dapat menilai apalagi mengatasinya. Sebagai contoh, fenomena homoseksualitas beserta turunannya yang kini marak terjadi dengan perilaku banci (kaleng!) secara terbuka. Ideologi Pancasila tidak bisa menilai homoseksualitas sebagai nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila atau tidak. Kaum Pancasilais hanya menilainya secara normatif belaka, sebagian menganggap homoseksualitas sebagai kebebasan HAM asal tidak mengganggu orang lain, dan sebagian lainnya menganggap sebagai fakta yang tidak dapat dipungkiri namun bukan perbuatan terpuji. Dari penilaian yang penuh ambiguitas ini, sangat disangsikan dapat mengatasinya. Berbeda dengan ketiga ideologi lainnya yang secara tegas menolak kegiatan dan nilai-nilai homoseksualitas ini. Dalam ideologi Islam sudah sangat jelas, bahwa homoseksualitas sebagai perbuatan keji yang merusak nasab manusia, bagi ideologi Marxisme juga menganggap homoseksualitas sebagai perbuatan anti-sosial yang menjadi parasit masyarakat, bahkan bagi Marhaenisme juga menilai homoseksualitas sebagai nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kebudayaan kita. Dengan ketegasan ketiga ideologi ini terhadap homoseksualitas dapat dipastikan kaum homo dan banci ini tidak akan memiliki tempat dinegeri ini. Ideologi Pancasila hanya alat politik yang dirancang dan digunakan untuk kepentingan rezim, maka ideologi Pancasila tidak bisa menilai suatu kondisi sosial, sebab yang menilai kondisi sosial adalah rezim itu sendiri, dan ketika rezim mengatasi suatu permasalahan sosial, ideologi Pancasila hanya digunakan sebagai ‘topeng’ atas tindakan yang diambilnya.
  • Ada tidaknya ideologi Pancasila tidak mengakibatkan perubahan apa-apa di masyarakat. Jika kita berpikir lebih jauh lagi, kondisi negeri ini pada post-Pancasila (sebagai ideologi) tidak akan terjadi perubahan besar ataupun goncangan besar. Pancasila sebagai ideologi terbuka akan menerima kondisi masyarakat sebagaimana keadaannya yang sedang berlangsung. Seperti kondisi sekarang yang serupa dengan masyarakat liberal, maka ketika ideologi Pancasila dicabut, masyarakat post-Pancasila akan tetap berjalan seperti masyarakat liberal. Bahkan dengan sendirinya akan berganti dengan ideologi liberal.

Jika dibandingkan antara ideologi dan pseudo-ideologi, Pancasila justru lebih mudah dipahami dan lebih mudah diterima oleh akal, sebagai pseudo-ideologi. Itulah Pancasila sebagai Pseudo-Ideology.

Pancasila: Sebuah Perjanjian Luhur Bangsa

Setelah kita memahami Pancasila sebagaimana ia dilahirkan dan mengetahui Pancasila sebagai pseudo-ideologi, maka perlu kita nilai ulang kondisi Pancasila terkini, agar kita bisa memperlakukan Pancasila sesuai dengan khitah-nya, sesuai dengan kodratnya. Sejak awal kelahiran, Pancasila merupakan perjanjian yaitu perjanjian para entitas politik Indonesia untuk mendirikan negeri yang merdeka. Maka tak heran, perjanjian luhur tersebut dianggap sebagai gentlemen agreement para founding fathers, yang dicapai atas dasar kesadaran politik bukan karena paksaan. Bentuk Pancasila memang sangat memenuhi syarat sebagai sebuah perjanjian, yaitu adanya subyek perjanjian dan obyek perjanjian. Subyek perjanjian dalam Pancasila adalah para pihak perjanjian yang setara, terdiri atas tiga entitas politik Indonesia (sila 1-3). Obyek perjanjian dalam Pancasila adalah hal yang dijadikan kesepakatan, yaitu sistem politik yang akan dijalankan, Demokrasi Terpimpin (sila 4) dan sistem ekonomi yang akan dijalankan, Ekonomi Terpimpin/Kerakyatan (sila 5).

Perjanjian ini nantinya yang akan menjadi bagian dari dasar negara/konstitusi Indonesia. Maka jika kita lihat kedua konstitusi kita yang tak terpisahkan (Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD45), Pancasila selalu tercantum dan menjadi bagian dari konstitusi ada dalam alenia 4. Hal yang sering keliru bagi kebanyakan orang adalah mempersamakan dasar negara dengan ideologi. Dasar negara bukanlah ideologi, dasar negara adalah konstitusi. Dalam konstitusi tidak serta-merta tercantum ideologi, sebab ideologi hidup dalam masyarakat secara riil, sedangkan konstitusi adalah landasan yuridis dari suatu negara.

Setelah ketiga entitas politik Indonesia membentuk kesepakatan yang tertuang dalam Pancasila, dibutuhkan suatu haluan atau panduan atas pelaksanaan kesepakatan tersebut, berupa manifestasi politik yang disebut dengan Manipol USDEK. Manipol/Manifestasi Politik USDEK terdiri atas Undang-undang Dasar, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Undang-undang Dasar adalah dasar yuridisnya, Sosialisme Indonesia adalah dasar tujuannya, Demokrasi Terpimpin adalah dasar politiknya, Ekonomi Terpimpin adalah dasar ekonominya, dan yang terakhir Kepribadian Indonesia adalah dasar identitasnya terhadap negara lain. Sosialisme Indonesia sebagai cita-cita yang disepakati, hanya bisa diraih melalui Revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia berasal dari sifat-sifat revolusioner ketiga entitas politik, karena ketiganya memang memiliki revolusinya masing-masing. Secara sederhana, dapat diurai seperti ini: Pancasila adalah kesepakatannya dan Manipol USDEK adalah panduan untuk menjalankan kesepakatannya. Keberadaan Pancasila dan Manipol USDEK tidak dapat dipisahkan untuk mencapai Sosialisme Indonesia melalui Revolusi Indonesia.

Jadi kita lihat bersama, posisi Pancasila dalam ketatanegaraan sudah sangat jelas, bahwa Pancasila adalah awal dari Indonesia, Pancasila merupakan perjanjian ketiga entitas untuk bekerjasama, bukan merupakan ideologi tersendiri.

Pancasila adalah perjanjian luhur bangsa.

Islamis Dan Pancasila

Entitas Islamis merupakan salah satu entitas politik yang dominan di Indonesia. Seperti halnya kedua entitas lainnya, entitas Islamis juga memiliki penilaian dan perspektif atas Pancasila. Cara pandang entitas Islamis terhadap Pancasila, mungkin tidak sama dengan cara pandang yang dimiliki entitas Internasionalis-Marxis maupun Nasionalis-Marhaenis. Karena seperti yang telah disebut sebelumnya, ketiganya memiliki ideologi masing-masing, sehingga akan memiliki idealitas yang berbeda atas kerjasama yang terjalin melalui Pancasila ini. Namun cara pandang yang dimiliki oleh entitas Islamis ini merupakan cara entitas Islamis memahami dan menyikapi Pancasila berdasarkan ideologi Islam, untuk kepentingan entitas Islamis. Cara pandang kita ini tidak mungkin dipaksakan untuk entitas lainnya, demikian juga sebaliknya, kita tidak mungkin mengikuti cara pandang entitas lain atas Pancasila. Dari tingkat saling memahami seperti ini akan timbul respect dan ikatan yang kuat diantara entitas politik.

Namun perlu diketahui, kita entitas Islamis akan selalu menjunjung Pancasila yang berasal dari Piagam Jakarta sebagai  Pancasila sesungguhnya. Sebab, berdasarkan Dekrit Presiden 59, ketika Indonesia kembali lagi pada UUD45, maka secara otomatis akan kembali pula ke Piagam Jakarta. UUD45 dan Piagam Jakarta merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan sampai kapanpun, karena Piagam Jakarta menjiwai UUD45, dan UUD45 dijiwai Piagam Jakarta (lihat: Dekrit Presiden 59). Meskipun kini yang beredar secara resmi adalah Pancasila versi PPKI, entitas Islamis akan selalu memegang teguh Pancasila versi Piagam Jakarta sebagai dasar idealitas perjanjiannya, yang dipandang lebih fair, yang dipandang sebagai gentlemen agreement.

Adapun sikap entitas Islamis atas Pancasila:

  • Pancasila adalah perjanjian luhur bangsa. Sejak awal entitas Islamis bermusyawarah dalam sidang BPUPKI, sudah dinyatakan Pancasila sebagai perjanjian untuk bekerjasama dengan entitas politik lainnya. Artinya entitas Islamis sampai kapanpun akan menempatkan Pancasila sebagai sebuah perjanjian, tak lebih dan tak kurang.
  • Pancasila adalah dasar negara. Namun perlu diingat, dasar negara adalah konstitusi, konstitusi sendiri adalah dasar yuridis berdirinya suatu negara. Dan dasar negara itu bukanlah ideologi, keduanya merupakan hal yang berbeda. Sehingga entitas Islam akan mengakui Pancasila sebagai dasar yuridis tetapi tidak mengakui Pancasila sebagai ideologi bagi entitas Islamis, apalagi menggantikan ideologi Islam.
  • Pancasila adalah alat pemersatu. Dengan Pancasila sebagai perjanjian, maka keberadaannya hanya menjadi alat pemersatu entitas politik untuk mencapai tujuan bersama. Alat pemersatu ini tidak berlaku abadi bagi para pihak, bilamana perlu, entitas politik yang dirugikan oleh entitas lainnya dapat menarik diri dari kesepakatan Pancasila dan melanjutkan sendiri revolusi ideologinya.
  • Menolak ideologi Pancasila dan mitosnya. Sikap ini muncul sejak Pancasila diberlakukan sebagai ideologi. Penolakan terhadap ideologi Pancasila dan segala bentuk mitos kesaktiannya hanya berlaku bagi entitas Islamis sendiri. Maksudnya ialah menolak segala bentuk pemberlakuan Pancasila sebagai ideologi dan Astung kepada entitas Islamis. Bagi kaum Islamis, Pancasila menjadi ideologi dan melahirkan mitos-mitos kesaktiannya sudah merupakan Thaghut. Hal ini menjadi perbuatan melampaui batas yang bertentangan dengan ideologi Islam.

Atas dasar inilah, entitas politik Islamis bersedia terbuka dan masih mau menjunjung Indonesia dalam bernegara, masih mau bergotong-royong dengan entitas politik lainnya, namun harus dengan kondisi yang penuh respect dan fairness sajalah hal itu dapat terjalin. Sikap entitas Islamis untuk hal ini meliputi:

  • Menghendaki pengakuan atas eksistensi entitas Islamis. Akibat tindakan supresive rezim junta-militer, entitas Islamis ketika itu mengalami kebekuan sehingga seolah-olah hilang dalam masyarakat. Setelah rezim tersebut berakhir, entitas Islamis kembali dinamis dalam perpolitikan sipil Indonesia. Walau rezim tersebut sudah berakhir namun pengabaian terhadap eksistensi entitas Islamis masih sangat terasa pada perpolitikan sipil terkini. Perpolitikan sipil seringkali dianggap sebagai kegiatan entitas politik yang homogen (Nasionalis-Pancasilais), padahal entitas Islamis masih memiliki kontribusi yang besar terhadap negeri ini.
  • Menghendaki pengakuan ideologi Islam bagi entitas Islamis. Pengakuan ini bukan untuk memaksa entitas lain untuk berideologi Islam, melainkan sebagai pengakuan identitas yang dimiliki entitas Islamis. Entitas Islamis hanya akan berideologikan Islam, jika entitas lain mau berideologi berbeda, itu merupakan pilihan mereka yang akan kita hormati. Hal ini, secara otomatis akan menolak pemberlakukan Pancasila sebagai ideologi tunggal bangsa dan pemaksaan ideologi lain terhadap entitas Islamis.
  • Gotong-royong menuju Sosialisme Indonesia. Sejak awal, kita bersepakat untuk bergotong-royong mencapai Sosialisme Indonesia, maka entitas Islamis hanya akan bersedia bekerjasama untuk hal itu. Sosialisme Indonesia menjadi cita-cita bersama yang tidak bisa dipisahkan antara ketiga entitas.
  • Melanjutkan Revolusi Indonesia. Entitas Islamis adalah entitas yang revolusioner, begitu pula dengan Marhaenis dan Marxis, sehingga Revolusi Indonesia bisa terwujud karena ketiganya berjiwa revolusioner. Dengan Revolusi Indonesia ketiganya dapat saling bahu-membahu bekerjasama. Namun Revolusi Indonesia dihentikan oleh rezim junta-militer Suharto yang kontra revolusi. Kini entitas Islamis hanya bersedia bekerjasama dengan entitas lain untuk melanjutkan revolusi yang dulu terhenti, untuk memulai Revolusi Indonesia jilid 2.
  • Konsisten dengan anti Nekolim. Salah satu kesepakatan yang dicapai ketiga entitas adalah sikap anti Nekolim. Nekolim adalah musuh bersama yang menghisap dan merugikan rakyat, mereka yang Nekolim tidak terbatas pada bangsa asing, namun juga bangsa sendiri yang melakukan penghisapan pada saudaranya sendiri. Nekolim telah terbukti merusak sendi kehidupan negeri ini, maka entitas Islamis hanya bersedia bekerjasama dengan mereka yang juga anti Nekolim.

Itulah bagaimana penilaian entitas Islamis terhadap Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa kita memiliki kontribusi terhadap Pancasila dan kita juga memiliki hak atas Pancasila, namun kita memiliki pandangan yang kini tampak berbeda dari kebanyakan, karena kita masih konsisten dengan keaslian Pancasila, yaitu perjanjian. Entitas Islamis juga ingin membangun negeri ini, juga ingin memajukan bangsa dan umat negeri ini, maka jika keadaan mengharuskan, kita pun bersedia bekerjasama dengan ‘aturan main’ yang sesuai. Kita bisa memberikan toleransi tapi kita juga memiliki batas toleransi. Entitas Islamis tetap konsisten dengan ideologi Islam.

Penutup

Kini semuanya sudah jelas, tentang bagaimana hakikat Pancasila, tentang bagaimana penyimpangan terhadap Pancasila, dan tentang sikap kita atas Pancasila. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah kembali pada entitas lain. Siapkah mereka untuk bergotong-royong dengan kita? Khusus untuk entitas Sosialis sebagai turunan kaum Marxis dan sisa-sisa entitas Marhaenis, peluang untuk kembali bergotong-royong sangat terbuka lebar, mengingat hal ini pernah dijalankan bersama dan kerangka untuk melanjutkan hal ini pun juga masih tersedia. Entitas Islamis masih bersedia untuk melanjutkan Revolusi Indonesia yang dulu pernah terhenti karena ulah rezim junta-militer. Sedangkan untuk kelompok lain seperti Nasionalis-Pancasilais, kaum Islamis hanya bersedia bekerjasama dengan kerangka yang sudah ada, sebagaimana yang dulu pernah disepakati para founding fathers, tanpa ada pemaksaan ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal. Namun untuk kelompok yang jelas-jelas kontra revolusi macam Nasionalis-Liberal dan penganut Kapitalis-Global, maka posisi kita sudah jelas dan akan selalu berhadapan untuk bertarung. Bila perlu, jika mereka menghendaki rekapitulasi ulang politik sipil Indonesia pun tak menjadi masalah, namun kaum Islamis akan tetap konsisten dengan ideologinya sendiri, yaitu Islam. Entitas Islamis harus selalu berevolusi berdasarkan tuntutan ideologinya, dan akan tetap terus berevolusi, baik melalui Revolusi Indonesia bersama kaum Sosialis dan Marhaenis, maupun berjuang sendiri dalam Revolusi Islam Nusantara.

Kami siap revolusi!(Ajm)

One response to “PANCASILA: SEBUAH PSEUDO-IDEOLOGY

  1. Pingback: Identitas Semu Anti-SARA – al-Ahkam al-Sulthaniyah

Leave a comment